Minggu, 30 September 2012

Menulis

Kemarin saya dimintai mengajar menulis oleh temanku. Saya juga bingung bagaimana caranya mengajar menulis orang. Secara, saya bukan penulis setenar Paulo Coelho, Jostein Gaarder, atau siapa lah. Saya juga bukan pelawak yang bisa membuat orang terhipnotis dan tertawa karena isi tulisanku. Siapa lah saya ini ?

Sejauh ini, belum banyak tulisan yang bisa saya hasilkan. Itupun isinya bukan hal yang terlalu menarik. Palingan cerita-cerita yang tidak jelas. Saya teringat teman saya Meike yang pernah bilang, "Menulis itu dari hati. Nda usah rempong. Isi hatimu, tulis saja."

Teman, saya juga cuma modal isi hati buat nulis. Tidak perlu kata-kata yang hebat ataupun fantastis. Yang penting, maksudnya tersampaikan. Itu saja. Selamat nulis !

Jumat, 28 September 2012

Andai Pacarku Seorang Perempuan

Saat aku menangis, bukannya mengatakan kalau aku cengeng, tapi kau memelukku, membelai kepalaku dan berkata " sudahlah. semua ini akan lewat". Saat aku lupa waktu dalam memilih sepatu di toko, kau tidak mengatakan " ambil saja itu. aku sudah capek." dengan wajah cemberut. Tapi kau dengan sabar mengikuti langkahku dan memberiku saran sepatu apa yang cocok denganku. Saat aku lebih memilih ke salon daripada nongkrong di warung kopi, kau sama sekali tidak protes dan menungguku dengan wajah bete dan bosan. Kau malah ikut nyalon juga dan kita bergosip tentang model rambut yang bagus. Saat aku merokok, kau tidak marah dan pergi meninggalkanku. Tapi kau hanya diam, menatapku, dan berkata "jangan terlalu banyak. nanti kau sakit." Saat aku mengeluarkan argumen yang kau tak suka, kau hanya berkata " terus ? memangnya kenapa ?" dan bukannya menyuruhku diam. Yah.. Andai saja pacarku seorang perempuan.

Kamis, 27 September 2012

Tanpa Judul

"Ko nda pernah menangis ela?"
"Kenapa memangnya kak ?"
"Ndaji. Saya nda pernah lihatko nangis."



Kurang lebih seperti itulah percakapan yang terjadi antara saya dan seorang kakak di Korps beberapa hari yang lalu.  Saya kaget. Tidak ada hujan ataupun badai, tiba-tiba ada yang bertanya seperti itu. Jelas saya langsung memikirkan kata-kata itu. Mungkin dia cuma iseng bertanya. Tapi jelas kalau saya terganggu dengan ucapan seperti itu. Tiba-tiba saya teringat ucapan dari kakak yang lainnya waktu kami sedang nonton film di Korps (lagi). Dia bertanya apakah saya nangis. Saya bilang, tidak. "Memang hatimu batu", begitu katanya. Saya cuma tertawa. Jujur, saya malas menanggapi hal-hal yang seperti itu.

Sekarang giliran saya yang bertanya. Memangnya untuk membuktikan kalau saya punya hati itu harus menangis ? Memangnya kalau saya mau nangis harus di depan semua orang ? Bukankah kalau saya tertawa, marah, dan merasa sedih sudah cukup membuktikan kalau saya juga punya hati ? Haruskah ?

Kalau dari segi biologis, memang saya mempunyai kadar air mata yang kurang. Makanya waktu saya memutuskan menggunakan lensa kontak sebagai pengganti kacamata, mata saya cepat merah dan harus sering di tetesi cairan pencuci lensanya ( itu juga yang jadi alasan kenapa saya berhenti menggunakan lensa kontak). Sejak kecil, saya memang bukan anak yang suka nangis ataupun merengek. Mama pernah bilang, "Enak punya anak kayak ela. Nda suka nangis atau merengek-rengek. Jadi kita enjoy bawa dia kemana-mana". Waktu berumur 4 tahun saya pernah teriris pisau gara-gara sok mau ikut memotong sayur. Saya cuma diam, dan pergi ke kamar sambil memegangi tangan saya yang berdarah. Disitu baru saya menangis sepuasnya. Ternyata mama melihat kejadian itu dan dia cuma tertawa. Masih kecil sudah sok keren. Begitu katanya. Saya suka senyum-senyum sendiri kalau ingat cerita masa kecil yang tentu saja diceritakan oleh Mama.

Siapa bilang saya tidak pernah menangis ? Hanya saja, saya tidak suka kalau air mataku dilihat sama orang. Tapi saya juga bukan orang yang sering menangis. Waktu-waktu tertentu saja. Tapi bukan berarti saya ini orang tak punya hati.

Rabu, 26 September 2012

Saya Bukan Feminis

Mungkin kalian melihat dandanan saya yang seperti laki-laki. Mungkin juga kalian melihat saya merokok. Atau mungkin kalian melihat saya turun ke jalan dan berdiskusi di kampus sampai malam. Lantas, kalian menganggap kalau saya adalah seorang feminis. Memang terkadang saya lebih suka melakukan pekerjaanku sendiri daripada meminta bantuan kalian. Memang saya senang berkeliaran kesana kemari tanpa mengenal waktu. Memang saya sering mengeluarkan statement yang menolak kalau kalian melecehkan perempuan.

Tapi apakah kalian tau kalau di rumah saya juga memasak ? Apakah kalian tahu kalau di rumah saya memperlakukan adikku layaknya seorang ibu ? Apakah kalian tau kalau saya juga sering shopping dan membaca majalah mode ? Apakah kalian tau kalau terkadang saya juga ingin menangis, bersikap manja, atau bergaya layaknya seorang perempuan ? Kalian tidak tau.

Kalian langsung saja menyebutku seorang aktivis perempuan lah, pejuang kesetaraan lah, feminis lah, dan sebutan lain yang sejenisnya. Kalian seenaknya saja menilai kalau saya tidak bisa memasak dan mengurus rumah. Memangnya kalian tau apa ?

Saya tidak pernah menilai kalian dan kami itu sama. Kita beda. Setara belum tentu harus sama kan ? Sampai hari ini, saya masih menganggap kalau seorang perempuan memang layaknya di dapur. Mengurus suami dan anak adalah sebuah kemuliaan. Bukan penindasan. Tak perlu memperbaiki genteng dan bekerja di luar untuk membuat seorang perempuan terlihat keren. Kolot ? Biar saja.

Apakah salah kalau saya ingin bisa melakukan keduanya ? Apakah salah kalau saya ingin bisa diluar dan bisa di rumah ?

Jadi, tolong berhenti mencela kalau saya ke kampus memakai rok. Tolong jangan mengejek saya tidak bisa memasak. Tolong jangan menilai saya tidak mempunyai hati dan tidak bisa menangis. Karena saya perempuan timur !

PAGI

Matahari sudah menampakkan diri. Perlahan, cahayanya mulai menusuk mataku. Silau. Bukannya beranjak dari tempat ini, aku malah diam menikmatinya. Koridor ini sepi. Hanya mbak cleaning service yang berlalu lalang membersihkan tempat ini. Semalaman mata ini tak terpejam. Hanya menari-nari di depan layar. Tak jelas apa yang ku buat. Tak jelas juga tujuanku apa. Biarlah. Saya suka begini. Selamat pagi semesta !

DIA

Namanya Fahri. Dilihat dari segi manapun, tidak ada sedikitpun hal yang menarik darinya. Penampilannya bisa dikatakan jauh dari normal. Out of the box lah pokoknya. Dia temanku ( bedeng ). Entah hanya saya yang mengaku sebagai temannya atau dia juga menganggapku teman.

Aku mengenalnya beberapa tahun yang lalu. Entah apa yang menarikku untuk lebih akrab dengannya. Dia teman tengah malamku. Dulu, saya belum gaul dan punya banyak teman. Jadi saya suka gaul sama dia. Sekian waktu berlalu, kami mulai menjauh dan semakin jauh. Entah momen apa yang membuatku bertemu lagi dengannya. Hmm.. Tidak ada bedanya.

Kalau pikiran bodohku datang, dia selalu jadi tempat sampah yang baik. Mungkin karena mukanya mirip sampah (?) Mungkin juga karena dia memang baik. Sangat serakah kalau saya berkeinginan untuk punya pacar. Saya sudah punya dia yang selalu siap menyediakan bahunya untukku. Apa lagi yang saya cari ?

Salah seorang temanku pernah bilang, "memangnya apa sih yang kak fahri tidak tau tentang kak elaa?". Kalimat ini sempat menggangguku beberapa saat. Ya. Itu betul. Dia tau segala-galanya tentangku. Tapi saya? Memangnya saya tau segala tentang dia ? Ternyata tidak. Dia masih jauh dari jangkauanku. Kelihatannya saja kami dekat. Ternyata saya belum cukup untuk bisa menjadi temannya. Memang sih, dia juga sering bercerita tentang dirinya. Tapi, entah kenapa saya masih saja merasa belum mengenalnya sepenuhnya.

Hmm.. Selama kami berteman, belum pernah sekalipun saya dapati dia marah ke saya. Kalau saya ? Entah sudah berapa kali. Tak terhitung. Kalau ada pembagian peran, pasti dia dapat peran protagonis dan saya yang antagonisnya. Heran juga sih, kenapa dia masih tahan juga dekat-dekat sama saya. Palingan saya cuma curhat, marah, ngomel, mencela, pokoknya yang jelek-jelek lah. Tapi ada juga orang seperti dia yang tahan dan sabar menghadapi saya yang annoying ini. Untung saja saya nda pernah jatuh cinta sama ini barang satu. Bisa hancur hubungan pertemanan kami. Lagipula, nda ada alasan untuk jatuh cinta ke dia. Pokoknya dia jauh lah dari tipe cowok idaman.

Fahri, saya nda berharap kau baca tulisan ini. Sesekali lah, saya curhat sama blog dan bukan sama kau. Saya sayangko. Tetapko jadi temanku nah ?