Kupejamkan mataku. Terasa dinginnya malam menusuk kulitku. Suara debur ombak mendominasi ruang dengarku. Sunyi. Sepi. Tanpa manusia, hanya alam yang berbicara. Terbayang wajah perempuan itu. Matanya yang bersinar bagai berlian, senyum sinisnya, kulitnya yang kecoklatan karena terbakar matahari, dan semua tentang dia. Orang bilang, dia biasa saja. Tapi untukku, dia yang tercantik.
Setahun sudah aku tak bertemu dengannya. Entah dimana dia sekarang. Sudah kucari kemana-mana. Rindu, sakit hati, dan penyesalan selalu datang silih berganti. Kuhisap rokokku dalam-dalam. Kunikmati asap yang masuk ke dalam paru-paruku. Seakan asap inilah yang mampu mengisi ruang kosong dalam hatiku. Aku ingin bertemu. Segala cara sudah kutempuh untuk mencarinya. Nihil. Masih hidupkah ? Sedang apa ? Segudang pertanyaan mengganggu pikiranku.
Aku mengenalnya dua tahun yang lalu. Dia juniorku di kampus. Sekilas, tak ada yang menarik. Tak ada sesuatu yang membuat ingin meliriknya. Tapi, ada yang sedikit berbeda. Dibalik wajahnya yang sinis, cara bicaranya yang cenderung kasar, ada sesuatu yang tak bisa kutebak. Ada sesuatu yang membuatku tertarik ingin memasuki dunianya lebih dalam lagi. Apa ? Hingga saat inipun aku tak tahu.
Sekian waktu berlalu, aku mulai mengenalnya. Lebih lagi, aku bisa akrab dengannya. Tapi, apa yang aku cari tak juga kudapatkan. Dia matahariku. Panas, menyengat. Untuk dilihat saja susah, apalagi diraih. Tapi, tanpa matahari, bumi akan layu, gelap, tak hidup. Akhirnya kunikmati saja saatku bersamanya.
Kuambil sebatang lagi rokokku. Kubakar dan kembali kuhisap dalam-dalam. Kulihat rokok di tanganku ini. Teringat lagi raut wajahnya saat menyuruhku berhenti merokok. "Nanti cepat mati", katanya. Yah, akulah rokok ini. Dibakar, dihisap, dinikmati manisnya, lalu dibuang dan diinjak-injak orang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar