Selasa, 20 Desember 2016
Bunga Revolusi dan Pelacur Kecil
Sabtu, 15 Oktober 2016
KAU
Ini hanya tentang perilaku. Bukan soal benar atau salah. Bukan juga soal suka atau tak suka. Karena kau bukan aku dan aku bukan kau. Meskipun kau dan aku berasal dari cetakan ilahi yang sama. Kau dan aku ada karena tangan yang sama. Meskipun begitu, perilaku yang berlaku padamu tak bisa begitu saja berlaku padaku. Begitupun sebaliknya, sayang.
Maaf kalau aku terlalu banyak bertanya. Ketidaktahuanku bekerja sama dengan rasa ingin tahuku. Dan mereka sangat akur. Sekian waktu telah kuhabiskan untuk bertanya. Tapi tak pernah kudapatkan jawaban yang bisa memuaskan nafsu ingin tahuku. Kau bilang, kau tak suka kata tanya "kenapa" dengan alasan, ada hal yang tak memerlukan alasan. Padahal itupun adalah alasanmu untuk menghindari kata tanya "kenapa". Yah, kalau disederhanakan, kau malas menjawab. Maka, kugantikan dengan kata tanya "apa". Dan kau masih belum menjawab. Jelas sudah asumsi awalku kalau kau malas menjawab, adalah benar.
Yah, aku masih disini bukan karena semata-mata adalah suka. Menamparmu atau menendangmu lalu pergi tidak akan menghasilkan rasa puas. Iya. Aku hidup karena rasa ingin tahuku masih hidup. Reaksi dan efek sama sekali tidak ada gunanya. Karena memang aku tak pernah berniat memberimu efek jera atau apapun lah sejenisnya. Itu bukan tugasku. Aku hanya berkiblat pada nafsu dan keinginanku untuk tahu. Apapun yang dulu, sekarang, ataupun nanti kau rasakan, bukan menjadi urusanku. Cukup pertanyaanku terjawab, sayang. Harus kau? Tentu saja. Karena kau adalah awal mula pertanyaan ini timbul.
Meski begitu, terima kasih karena ini berarti kau mengenalku. Meski hanya satu sisi. Seleraku dalam menulis. 😊😊
Jumat, 22 Januari 2016
Kata adalah senjata
Kata, mampu mengubah tangis menjadi tawa. Kata, mampu mengubah tawa menjadi tangis. Bisa menciptakan teman ataupun musuh. Mampu mengundang dan juga mengusir cinta. Sebagai alat untuk mengeluarkan ide yang tak mampu lagi ditampung oleh tubuh. Dengan kata, dusta bisa menjadi kebenaran. Kisah nyata berubah menjadi fiksi. Percaya berganti curiga. Api amarah menjadi angin kasih sayang. Rasa takut bisa menggantikan keberanian. Dengan kata, kau mampu membunuh seseorang. Kau bisa menghancurkan tumit lawan. Menyalakan api di dalam air. Mengubah sampah menjadi permata. Mengangkatmu dari jurang neraka ke surga. Membawamu ke alam imajinasi terliar yang pernah kau punya. Seperti itu kah? Ya. Karena kata adalah senjata.
Kamis, 21 Januari 2016
Long Time No See
Hei kamu! Sudah berapa lama kita tak bertemu? Sudah berapa lama aku tak mengurusmu? Sudah berapa lama kau hilang dari kehidupanku? Entahlah. Akupun tak ingat.
Hei kamu! Kita bertemu lagi. Dalam suasana yang berbeda. Mungkin kau terbiasa menemuiku dalam suasana hening dan gelap. Sekarang kau melihatku ada di suasana hingar bingar. Tak ada lagi koridor kosong. Tak ada lagi suara gitar yang kupetik pelan. Tak ada lagi kehangatan dari cahaya matahari terbit. Tak ada lagi rokok kretek di depan kita. Tak ada lagi secangkir kopi hitam panas yang ikut menemani pertemuan kita. Tak ada lagi komputer usang yang berisikan ratusan film kelas dua. Yang ada, suara mic bercampur musik yang keras. Yang ada, segelas es green tea dicampur sedikit sirup almond. Yang ada, sebungkus rokok rasa permen terpampang jelas di atas meja. Yang ada, setumpuk nota yang sudah lelah dibolak-balik. Yang ada, sebuah kalkulator dan sebuah map besar berisikan puluhan price list dan brosur.
Hei kamu! Bukannya aku lupa. Bukannya aku lelah. Bukannya aku tak lagi sayang. Hanya saja, sesaat aku lupa apa itu bebas dan bahagia. Realita dan indera telah memaksaku berjalan ke arah ini. Sementara nalar dan idealismeku tetap saja merindukanmu. Tetap saja menanti waktu mempertemukan kita. Tolong, jangan kecewa melihatku seperti ini. Ada fase yang memang tak nyaman namun harus dilalui. Sakit. Sedih. Kelam. Tak terhitung air mata yang harus tumpah. Tak terhitung sumpah serapah yang harus terucap. Sayang, inilah hidup. Hidup yang adalah kemutlakan. Tak ada kebebasan yang benar-benar bebas di dunia ini. Sejenak bersamamu yang mengajarkan arti kebebasan dan bahagia. Meski aku tak puas, itu harus sudah cukup. Cukup membuatku terlena sesaat. Cukup lebih daripada sekedar berarti. Terima kasih sayang sudah pernah hadir.