Selasa, 20 Desember 2016

Bunga Revolusi dan Pelacur Kecil

Aku ada disini. Sudah tiga kali. Tepat di bawah tubuhnya. Kurasakan dia mulai memasuki tubuhku. Kasar dan tanpa perasaan. Ketika sudah memuncak, ditancapkannya dirinya dengan sangat dalam padaku. Kutahan rintihan dan keluhan kesakitan yang akan keluar dari mulutku. Hawa dingin mulai membanjiri tubuhku. Menusuk tubuhku yang bahkan tidak telanjang. Dingin ini begitu kasar merasukiku, bahkan lebih kasar dari sentuhannya. Dia mulai naik ke ke dadaku, kerongkongan, dan akhirnya tiba di kepalaku. Dingin ini mulai memprovokasi alam pikiranku. Dan akhirnya, aku marah. Marah pada siapa? Pada sebongkah daging berjenis laki-laki yang sedang tersenyum meremehkan di depanku? Kurasa bukan. Lalu pada siapa? Kuacuhkan marahku. Kudorong daging itu dan beranjak menuju kamar mandi. Kulepaskan pakaianku yang bahkan masih lengkap terpakai. Dan aku membiarkan air dingin melawan hawa dingin yang tadi. Dingin melawan dingin? Bisakah? Air harusnya melawan api. Panas harusnya melawan dingin. Ya, aku mencoba melawan sesuatu yang bahkan adalah esensi dirinya. Mencoba menandingi dan membunuh diri sendiri. Itulah yang kulakukan kali ini. Air dingin ini mulai menguasai tubuhku tapi tak dapat mengusir hawa dingin yang tadi. Kuambil handuk, membungkus tubuhku dan keluar dari kamar mandi. Kulihat daging itu tertidur dengan tenangnya di kasur. Wajahnya terlihat sangat lelah. Memang tadi siang kami sangat sibuk. Setelah memakai pakaian, aku duduk di depan meja. Sambil bercermin, kuusapkan pelan bedak tipis di wajahku. Aku tak mau terlihat kusam jika dia sudah bangun nanti. Kumatikan lampu kamar, dan dengan berjingkat pelan aku ikut masuk dalam selimut. 
"Selamat malam, daging", kataku mencium bibirnya pelan. Lalu akupun tertidur.

Namaku Faith. Entah apa maksud orangtuaku memberiku nama sedemikian indah. Mungkin mereka berharap aku menjadi seseorang yang setia. Dan pada kenyataannya, aku tak pernah benar-benar setia pada seseorang ataupun sesuatu. Teman-temanku lebih senang memanggilku dengan sebutan "Fet". Karena mereka malas mengeja bahasa asing. Lebih baik namaku dilokalin saja, katanya. Sehari-hari aku bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Lembaga ini adalah patok awal seluruh duniaku. Sudah lima tahun duniaku berpusat pada kegiatan-kegiatan yang tak pernah jauh dari masyarakat. Lingkungan keluargaku dengan tegas menolak saat aku memilih untuk memasuki dunia ini setelah aku memperoleh ijazah perguruan tinggiku. Karena aku terlahir sebagai seorang perempuan yang keras kepala, aku tak mengindahkan nasihat semua orang. Aku hanya berjalan sesuai dengan yang ada dalam kepalaku. Pekerjaan ini tak mampu memberiku penghasilan yang luar biasa ataupun rutin seperti pekerjaan kantoran yang dipilih dan ditempuh oleh teman-teman sekampusku dulu. Hanya saja, aku senang dengan segala ketidakterikatan yang kudapatkan disini. Semua orang mencintaiku karena ditanganku, semua kegiatan menjadi lancar. Kesulitan hampir tak pernah kudapatkan. Selain itu, aku juga aktif di sebuah partai politik.  Sebuah sosok perempuan yang hebat dan maju sangat melekat padaku. "Bunga Revolusi", begitu mereka menjulukiku. Tak pernah sekalipun kepalaku tertunduk jika berhadapan dengan orang lain. Kepercayaan diriku selalu setia tinggal dalam kepala ini. Berpidato ataupun berorasi di depan orang banyak bukan masalah buatku. Aku mampu membius orang banyak dengan kata-kataku. Tak heran, karir politik dan sosialku melambung tinggi. Meskipun begitu, aku tak terlalu serakah. Menjadi wakil rakyat bukanlah tujuanku. Aku senang tampil di depan orang banyak tapi aku tak mau menaruh tanggung jawab yang terlalu besar di bahuku. Karena aku sadar kekuranganku. Pada malam hari, saat semua orang tertidur aku menjadi sosok yang lain. Aku berkelana ke tiap-tiap pelukan segumpal daging yang menamai dirinya laki-laki. Jika bosan, aku pergi lagi mengumpan daging yang lainnya. Aku melakukan hal ini tak memerlukan uang sebagai bayaran. Aku juga tak memerlukan cinta dari mereka. Karena daging tak pantas untuk memberikan dan diberikan cinta oleh manusia. Aku bukan seorang feminis ataupun pejuang kaum perempuan. Aku hanya membutuhkan mereka untuk memenuhi kebutuhan biologisku. Ini bukan kejam. Karena fungsi daging memang hanya untuk memanjakan lidah, mengenyangkan, dan meninggalkan sampah kolesterol dalam darah. Kehidupan gelapku tak perlu diketahui orang lain. Pahlawan takkan ada jika tak ada penjahat. Takkan ada nilai kebaikan jika tidak ada nilai kejahatan yang menjadi kiblat awalnya. Bayangkan jika dunia ini hanya ada kebaikan semata, apakah yang menjadi tolak ukur suatu kebaikan? Semuanya adalah biasa saja, kan? 

Aku terkaget mendengar suara HP-ku berbunyi. Kuambil dan kulihat di layarnya tertulis "istriku". Kulirik dia di sampingku, dia tertidur pulas. Kutekan tombol hijau di layar dan berbicara perlahan agar pelacur kecilku tak terbangun,
"Halo"
"Halo. Sudah tidur sayang?"
"Iya. Lelah sekali seharian ini."
"Iya. Jaga kesehatan sayang. Kapan pulang?"
"Besok. Jam sembilan. Aku lanjut tidur yah"
"I love you papa sayang"
"Bye."
"Bye."
Jam menunjukkan pukul 01.00 AM. Masih banyak waktu, pikirku. Kulirik lagi pelacur kecilku, dia masih tertidur. Dia memakai pakaian lengkap. Tapi entah kenapa libido kian menguasaiku lagi. Kulayangkan tamparan lembut di pipinya. Dia kaget dan terbangun. Bibirnya tersenyum kecil saat melihat wajahku. Kutarik dia dengan kasar kearahku. Dia terlonjak kaget dengan perlakuanku. Aku tertawa. Wajah merenggutnya semakin membuatku lupa diri. Kujambak pelan rambutnya dan kuarahkan dia untuk membungkus diriku. Awalnya dia melakukannya dengan perlahan seperti tak ikhlas tapi lama-kelamaan dia mulai menikmatinya. Dan sekali lagi kami menjadi binatang buas hingga kami tertidur karena lelah

Namanya Faith. Umurnya 27 tahun, dan tidak memiliki pasangan. Wajahnya tidak cantik dengan postur tubuh yang standar. Tapi dibalik penampilannya yang sangat biasa itu tersembunyi panggilan libido yang luar biasa. Sensual, kata orang. Kami bertemu tiga hari yang lalu pada kegiatan ini yang juga melibatkan lembaga tempat dia bekerja. Aku bekerja di instansi pemerintah dengan posisi yang cukup bagus. Dan sudah menjadi tugasku untuk menghadiri kegiatan ini. Aku hanya coba-coba mendekatinya. Mumpung lagi di luar kota dan jauh dari istri, pikirku. Dan ternyata dia menyambutnya dengan baik. Kegiatan ini hanya tiga hari dan kami melakukannya setiap malam. Dan yang menjadi wah, aku bahkan tak memiliki kontaknya. Mudah sekali, pikirku. Saat pertama kali kami bersama, aku sadar kalau bukan hanya aku laki-laki dalam hidupnya. Selain dekat denganku, diapun dekat dengan beberapa lelaki lainnya. Seorang perempuan cerdas, sopan, dan kharismatik di mata semua orang, ternyata hanyalah seorang pelacur kecil di malam hari. Waktu itu malam pertama, setelah kami selesai dia langsung pamit pergi meninggalkanku. Untuk pertama kalinya ada perempuan yang pergi mendahuluiku. Ini membuatku semakin bergairah karena aku tak perlu merasa bersalah ataupun merasa terbebani dekat dengan seorang pelacur yang secara sukarela memberikan dirinya tanpa perlu diberikan uang saku ataupun kata-kata cinta. Dia hanyalah seorang pelacur kecil yang kesepian dan haus akan kenikmatan neraka ini. Dia bahkan tak pantas untuk dikagumi sedikitpun. Karena itulah malam ini aku bermain sedikit kasar dan meremehkan padanya. Karena pelacur memang tak pantas untuk dihargai, bukan? Besok saja meminta kontaknya, pikirku. Aku mulai suka dengan hubungan yang murahan dan mudah ini.

Aku terbangun pada pukul 07.00 AM. Kulirik disebelahku, ternyata dia sudah pergi. Aku bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Kulihat secarik kertas di atas meja. Kuambil dan kubaca perlahan,
"Thanks to you. Faith."

Sabtu, 15 Oktober 2016

KAU

Ini hanya tentang perilaku. Bukan soal benar atau salah. Bukan juga soal suka atau tak suka. Karena kau bukan aku dan aku bukan kau. Meskipun kau dan aku berasal dari cetakan ilahi yang sama. Kau dan aku ada karena tangan yang sama. Meskipun begitu, perilaku yang berlaku padamu tak bisa begitu saja berlaku padaku. Begitupun sebaliknya, sayang.

Maaf kalau aku terlalu banyak bertanya. Ketidaktahuanku bekerja sama dengan rasa ingin tahuku. Dan mereka sangat akur. Sekian waktu telah kuhabiskan untuk bertanya. Tapi tak pernah kudapatkan jawaban yang bisa memuaskan nafsu ingin tahuku. Kau bilang, kau tak suka kata tanya "kenapa" dengan alasan, ada hal yang tak memerlukan alasan. Padahal itupun adalah alasanmu untuk menghindari kata tanya "kenapa". Yah, kalau disederhanakan, kau malas menjawab. Maka, kugantikan dengan kata tanya "apa". Dan kau masih belum menjawab. Jelas sudah asumsi awalku kalau kau malas menjawab, adalah benar.

Yah, aku masih disini bukan karena semata-mata adalah suka. Menamparmu atau menendangmu lalu pergi tidak akan menghasilkan rasa puas. Iya. Aku hidup karena rasa ingin tahuku masih hidup. Reaksi dan efek sama sekali tidak ada gunanya. Karena memang aku tak pernah berniat memberimu efek jera atau apapun lah sejenisnya. Itu bukan tugasku. Aku hanya berkiblat pada nafsu dan keinginanku untuk tahu. Apapun yang dulu, sekarang, ataupun nanti kau rasakan, bukan menjadi urusanku. Cukup pertanyaanku terjawab, sayang. Harus kau? Tentu saja. Karena kau adalah awal mula pertanyaan ini timbul.

Meski begitu, terima kasih karena ini berarti kau mengenalku. Meski hanya satu sisi. Seleraku dalam menulis. 😊😊

Jumat, 22 Januari 2016

Kata adalah senjata

Kata, mampu mengubah tangis menjadi tawa. Kata, mampu mengubah tawa menjadi tangis. Bisa menciptakan teman ataupun musuh. Mampu mengundang dan juga mengusir cinta. Sebagai alat untuk mengeluarkan ide yang tak mampu lagi ditampung oleh tubuh. Dengan kata, dusta bisa menjadi kebenaran. Kisah nyata berubah menjadi fiksi. Percaya berganti curiga. Api amarah menjadi angin kasih sayang. Rasa takut bisa menggantikan keberanian. Dengan kata, kau mampu membunuh seseorang. Kau bisa menghancurkan tumit lawan. Menyalakan api di dalam air. Mengubah sampah menjadi permata. Mengangkatmu dari jurang neraka ke surga. Membawamu ke alam imajinasi terliar yang pernah kau punya. Seperti itu kah? Ya. Karena kata adalah senjata.

Kamis, 21 Januari 2016

Long Time No See

Hei kamu! Sudah berapa lama kita tak bertemu? Sudah berapa lama aku tak mengurusmu? Sudah berapa lama kau hilang dari kehidupanku? Entahlah. Akupun tak ingat.

Hei kamu! Kita bertemu lagi. Dalam suasana yang berbeda. Mungkin kau terbiasa menemuiku dalam suasana hening dan gelap. Sekarang kau melihatku ada di suasana hingar bingar. Tak ada lagi koridor kosong. Tak ada lagi suara gitar yang kupetik pelan. Tak ada lagi kehangatan dari cahaya matahari terbit. Tak ada lagi rokok kretek di depan kita. Tak ada lagi secangkir kopi hitam panas yang ikut menemani pertemuan kita. Tak ada lagi komputer usang yang berisikan ratusan film kelas dua. Yang ada, suara mic bercampur musik yang keras. Yang ada, segelas es green tea dicampur sedikit sirup almond. Yang ada, sebungkus rokok rasa permen terpampang jelas di atas meja. Yang ada, setumpuk nota yang sudah lelah dibolak-balik. Yang ada, sebuah kalkulator dan sebuah map besar berisikan puluhan price list dan brosur.

Hei kamu! Bukannya aku lupa. Bukannya aku lelah. Bukannya aku tak lagi sayang. Hanya saja, sesaat aku lupa apa itu bebas dan bahagia. Realita dan indera telah memaksaku berjalan ke arah ini. Sementara nalar dan idealismeku tetap saja merindukanmu. Tetap saja menanti waktu mempertemukan kita. Tolong, jangan kecewa melihatku seperti ini. Ada fase yang memang tak nyaman namun harus dilalui. Sakit. Sedih. Kelam. Tak terhitung air mata yang harus tumpah. Tak terhitung sumpah serapah yang harus terucap. Sayang, inilah hidup. Hidup yang adalah kemutlakan. Tak ada kebebasan yang benar-benar bebas di dunia ini. Sejenak bersamamu yang mengajarkan arti kebebasan dan bahagia. Meski aku tak puas, itu harus sudah cukup. Cukup membuatku terlena sesaat. Cukup lebih daripada sekedar berarti. Terima kasih sayang sudah pernah hadir.