Minggu, 28 April 2013

4 Orang Dalam Selembar Kertas

E : Takkan ada kata menyesal dalam mencintaimu. Karena aku yakin, takkan ada kecewa di akhir.
N : Seandainya kau peka bahwasanya ada orang di sini yang tulus mencintaimu.
V : Kalau saja beberapa hal sedikit berbeda dari sekarang, mungkin tidak perlu ada yang harus diragukan.
E : Meski harga diri yang tampak di depan, mengalah selalu lebih di depan.
N : Ini adalah malam benar-benar untuk diingat.
V : Tidak harus benar-benar bicara untuk mengerti.
E : Ketika diam tak lagi menjadi emas, maka aku memilih tak menjadi emas itu.
N : Di suatu malam di ruang berdinding biru yang dingin dan tak ramah.
V : Berceritalah kita tentang sebuah nama rahasia yang tak asing.
E : Jangan berpikir kalau aku jatuh cinta. Karena aku tertawa dan bukan menangis.
A : Saya takut ketika saya meneruskan tulisan ini, tidak ada halaman yang tersisa untuk kalian.
N : Kalau mencintainya adalah kejahatan, maka saya bersalah.
V : Menginginkan hal-hal yang sederhana. Karena bahagia itu sederhana.
E : Cara memanaskan segelas kopi yang sudah dingin. Bakar kertas dan masukkan dalam gelas berisi kopi itu.
N : Membuat hal sederhana begitu keras.
V : Jangan pernah takut kehilangan apa-apa, kalau nanti salah satu dari kita pergi. Anggap saja kita memang tidak pernah saling memiliki.
E : Walau tak ada kata memiliki, asal kau di sampingku malam ini. Itu cukup.
N : Terkadang perasaan itu lebih mudah dipendam daripada diungkapkan.
V : Karena terkadang kita tidak mau mendengar apa-apa saja yang telah kita simpulkan dengan sok tahu dan dengan begitu arogan telah memutuskan penolakan.
E : Kalau segalanya dipendam saja, maka sungai tak perlu meluap.
N : Walau kau disini hendak peduli dengan perasaan ini. Ketika kau terjatuh, pastikan nafasku menyelamatkanmu.
V : Jangan tinggalkan bekas. Apapun itu.
E : Harus pergi dulu untuk menang.
N : Jangan benci bekas yang tertinggal. Benci orang yang meninggalkannya.
V : Kita takkan jadi sama, kan ?
E : Tak masalah jika kita sama. Hanya saja, akan lebih baik jika sama adalah berbeda.
N : Seandainya. Satu kata yang saya benci.
V : Ini pertanda baik. Sampai ketemu lagi.
E : Kalau tangan kiri tak boleh melihat tangan kanan memberi, maka tangan kanan tak boleh melihat tangan kiri memukul.
N : Arrgghh.. Besok ujian.
V : Disini. Dengan ini. Semoga kamu mengerti.
E : Jangan bertanya kenapa. Karena ini tak perlu alasan.

Walaupun Arham pergi, saya, Vivi, dan Nizar tetap bergaul dengan malam.

Minggu, 14 April 2013

Aturan, Power, dan Nalar

Siapa bilang aturan adalah kesepakatan ? Itu hanya konsep ideal yang bisa membuatmu tak sadar akan realita. Nalar yang selalu kita sembah yang membuatnya demikian. Tak ada yang salah dengan proses nalar. Hanya saja, nalar itu perlu bergaul dengan indera untuk menyaksikan tontonan ketidakidealan.

Hei ! Ketika aturan adalah kesepakatan, maka tak perlu ada perlawanan. Karena aturan adalah milik Sang History Maker. Dan akan selalu seperti itu. Ketika kita bertanya soal tujuan aturan, tentu saja untuk mengatur. Dapatkah keteraturan terjadi jika tak ada pihak ketiga ? Dapatkah keteraturan terjadi jika tak ada subjek dan objek ? Ayolah, kali ini subjek akan tetap jadi subjek. Dan objek akan tetap jadi objek. Jika aturan adalah kesepakatan, maka tak akan ada agama. Hanya Tuhan dan manusia yang melakukan deal-deal-an. Kalau memang seperti itu, maka Tuhan akan sangat sibuk menghadiri undangan. 

Akan selalu ada power dominan. Sebagaimanapun menjengkelkannya dia, akan tetap ada. Dunia ideal impian kaum anarki pun tetap butuh pemimpin. Meski berkedok koordinator atau apa lah, tetap saja ada power. Sayang, tak ada yang benar-benar ideal di dunia ini. Melihatlah, mendengarlah, dan rasakanlah. Maka kau akan tahu, kalau nalar takkan bisa hidup tanpa indera. Berhenti melatih nalarmu untuk onani. Karena tak perlu beronani jika kita punya pasangan. 

Selasa, 09 April 2013

Apa Harus Marah Dulu ?

Ini bukan soal persaingan. Ini juga bukan soal kasta. Ini hanya soal hati. Hanya soal perasaan. Perasaan iri kepada dia yang mampu untuk marah. Rasa iri yang tercipta karena tak mampu untuk marah. Sepele. Apa sih sulitnya marah ? Mungkin itu mudah baginya. Tapi tak mudah untukku.

Bayangkan, semua orang menganggap kau adalah orang yang santai. "Tak masalah kalau dia. Sudah biasa". Begitu kata mereka. Mungkin saja sudah terbiasa. Tapi apakah limit pun tak mampu hadir pada kebiasaan itu ? Hanya karena kebiasaan itu terlalu sering bergaul dengan tawa ? Tawa tak sama dengan senang. Itu yang kutahu.

Apakah harus marah dulu untuk menang ? Apakah harus memakai power sebagai pengganti bedak ? Apakah harus sok menjadi orang lain ? Aku rasa tak perlu. Hanya saja, perlu ada yang sadar, kalau limit pun bisa saja memakan rasa sabar.

Sabtu, 06 April 2013

Menanti Kematianmu

Saya bingung dengan semua yang kita lewati
Saya pun kadang tidak sadar dengan dirimu
Tapi....
Saya lebih bingung
Kata kotor apa yang pantas terucap untukmu

WC buntu pun buntu untuk berpikir
Kotoran apa yang pantas untuk menggambarkan wajahmu
Sampah pun bingung, karena kau tak lagi bisa didaur ulang.

Mengapa ada orang sepertimu?
Hidup dengan kemarahan dan kesombongan
Kira-kira apa yang perlu dikenang darimu ?
Nisan tak sabar mengukir namamu.

Lekaslah mati wahai kekasih.

Mariesa Giswandhani


BUNGLON

Hari ini kita bertemu. Entah berapa fase yang sudah aku dan kau lewati. Ya. Kau tahu, aku adalah bunglon. Tak perlu mencari tahu ataupun menebak. Cukup tahu lingkunganku, kau akan tahu bagaimana warnaku. Nothing last forever. Hei ! Aku tak pernah stay di satu tempat. Aku senang berkelana dan mencoba tempat-tempat yang baru. Karena aku adalah bunglon, kemanapun aku pergi, warnaku akan berubah. Jangan heran kalau suatu hari nanti kau melihatku dengan wajah yang lain.

Tapi perlu kau ingat. Bunglon akan selalu jadi bunglon. Meski dia ada di atas daun dan berubah warna menjadi hijau, dia takkan menjadi daun. Meski dia ada di atas tanah dan berubah warna menjadi cokelat, dia takkan menjadi tanah. Dia tetaplah bunglon. Cukup warna. Bukan segalanya.

Dear, suatu saat kau akan melihatku dengan warna yang baru. Tenang saja, aku adalah bunglon dan akan terus jadi bunglon.

Jumat, 05 April 2013

Apatis atau Pemaaf ?

"Aku tak tahu ini apatis atau pemaaf. Tapi possitive thinking saja, ini karena mereka pemaaf."

Itu kata-kata paling keren yang kudengar hari ini. Di tengah kekeluan suasana dan kemarahan yang menimpa orang-orang, masih ada kata possitive thinking. Walau aku tak begitu sependapat dengannya. Mungkin memang sangat tipis perbedaan antara apatis dan pemaaf. Antara tak peduli dengan mudah melupakan. Tapi terserahlah ! Yang jelas mereka diam. Di tengah dominasi beberapa orang, di tengah kekalutan yang menyelubungi ruangan, di tengah debaran jantung mereka yang di atas panggung, mereka tidak merasakan hal yang sama. Hanya diam. Haruskah kami memaksa ? Entah apa yang membuatnya begini. Apakah kami, mereka, kalian, atau kita ? Tak ada yang salah. Hanya saja, kami ingin mereka bicara.